Kontroversi PP JHT

Berbagai kontroversi dan hiruk-pikuk masalah pencairan dana Jaminan Hari Tua mewarnai pelaksanaan awal secara penuh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 lalu.

Para pekerja peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa lagi mencairkan dana JHT-nya secara keseluruhan pasca pemberlakuan UU No 40 Tahun 2004 (UU SJSN) dan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2015 tentang JHT (PP JHT). Atas peraturan baru ini, para pekerja melakukan penolakan masif dengan membuat petisi di media sosial menuntut agar skema pencairan dana JHT dikembalikan seperti semula, yaitu pencairan dana JHT setelah lima tahun kepesertaan plus satu bulan pasca PHK. Ketentuan baru pencairan dana JHT yang mensyaratkan masa kepesertaan sepuluh tahun dengan pembatasan pencairan dana paling banyak 10 persen secara tunai atau 30 persen untuk perumahan dari jumlah JHT (diamanatkan Pasal 22 Ayat 4 dan Ayat 5 PP No 46 Tahun 2015) tidak menjawab kebutuhan para pekerja, khususnya pekerja yang mengalami PHK.

Atas permasalahan ini, pekerja dan serikat pekerja langsung menyalahkan kehadiran PP JHT yang baru ditandatangani 30 Juni lalu. PP JHT dinilai tak mengakomodasi kebutuhan pekerja yang mengalami PHK. Pemerintah menyadari ini, dan atas protes itu, Presiden Jokowi langsung memanggil dan memerintahkan Menteri Tenaga Kerja dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan merevisi PP JHT. Meski pekerja hanya meminta pengembalian skema kepesertaan lima tahun plus satu bulan pasca PHK, Presiden memberikan arahan agar dana JHT bisa langsung dicairkan seluruhnya kepada pekerja yang mengalami PHK tanpa syarat lima tahun kepesertaan.



Revisi PP No 46.Tahun 2015

Pemerintah telah menyelesaikan revisi PP No. 46 Tahun 2015tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Perubahannya adalah PP No. 60 Tahun 2015tentang Perubahan Atas PP No. 46 Tahun 2015 tentang JHT. Perubahan itu dilakukan setelah ada perintah dari Presiden Joko Widodo. PP No. 46 memang mendapat kritik tajam dari kalangan pekerja.

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, mengatakan PP terbaru sudah mengakomodasi isu yang berkembang. "Revisi PP JHT dilakukan pasca mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo untuk mengakomodasi isu yang berkembang di kalangan pekerja terkait JHT," katanya di kantor Kemenaker di Jakarta, Kamis (20/8).

Ada dua pasal yang diatur dalam PP No. 60 Tahun 2015. Pasal pertama mengubah materi Pasal 26 PP terdahulu. Perubahan memuat lima ayat. Berdasarkan revisi, manfaat JHT dibayarkan kepada peserta apabila (a) peserta mencapai usia pensiun; (b) peserta mengalami cacat total tetap; atau (c) peserta meninggal dunia. Dalam penjelasan disebutkan ‘mencapai usia pensiun’ termasuk peserta yang berhenti bekerja. Ayat lain perubahan itu mengatur subjek yang akan menerima pembayaran JHT jika peserta mengalami kondisi tertentu. Jika peserta meninggal dunia, misalnya, manfaat JHT diberikan kepada ahli warisnya.

Pasal kedua (Pasal II) PP No. 60 Tahun 2015 mengatur masa berlaku PP, yakni pada tanggal diundangkan. Juga mengatur perintah pengundangan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly sudah mengundangkan PP pada Lembaran Negara pada 12 Agustus 2015.
Hanif menambahkan Pemerintah juga sudah menindaklanjuti PP No. 60 Tahun 2015 itu dengan menerbitkan Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. "Peraturan ini sudah selesai dan sudah dicatatkan pada Lembaran Negara," ujarnya.

Permenaker itu mengatur persyaratan bagi peserta yang akan mengambil manfaat JHT. Diantaranya, manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri dari perusahaan.
Peserta yang mengundurkan diri harus melengkapi beberapa persyaratan untuk mengambil manfaat JHT. Syaratnya adalah kartu asli peserta BPJS Ketenagakerjaan, surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan dan fotokopi KTP dan kartu keluarga (KK) yang masih berlaku.

Untuk peserta yang mengalami PHK, manfaat JHT dibayarkan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak di-PHK. Peserta harus melampirkan kartu asli peserta BPJS Ketenagakerjaan, bukti persetujuan bersama yang telah didaftarkan atau penetapan pengadilan hubungan industrial, serta fotokopi KTP dan Kartu Keluarga yang masih berlaku.
Bagi peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selamanya, syarat yang perlu dilampirkan untuk mencairkan dana JHT diantaranya surat pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia dan fotokopi paspor, serta fotokopi visa bagi tenaga kerja WNI.

Hanif mengatakan peraturan yang lebih teknis akan diatur lewat Peraturan BPJS Ketenagakerjaan. Ia memastikan pencairan JHT bisa dilakukan segera. "1 September 2015 nanti pekerja yang di-PHK atau mengundurkan diri bisa mencairkan dana JHT-ya," ucap Hanif.
Walau PP JHT direvisi, Hanif yakin, tidak ada yang salah dalam regulasi sebelumnya. PP No. 46 Tahun 2015 sudah memuat ketentuan ideal pelaksanaan JHT sebagaimana amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Cuma situasi ketenagakerjaan yang ada di Indonesia saat ini belum mencapai kondisi ideal, terutama terkait PHK dan ketidakpastian kerja.

Selain itu Hanif mengingatkan bagi perusahaan yang melakukan PHK wajib melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat dan BPJS Ketenagakerjaan. Jika perusahaan tidak mau memberikan surat keterangan pengunduran diri atau PHK, Hanif mengimbau agar pekerja yang bersangkutan aktif meminta surat tersebut.

Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, mengatakan akan menindaklanjuti revisi PP JHT dengan menerbitkan Peraturan BPJS Ketenagakerjaan. Peraturan itu akan mengatur secara teknis tata cara pencairan manfaat JHT. Jika peserta sudah melengkapi berbagai persyaratan yang dibutuhkan, satu hari kemudian manfaat JHT bisa dicairkan. "Peserta bisa mencairkan seluruh saldo JHT yang dimilikinya sekaligus hasil pengembangannya," tukasnya.

Bagi peserta yang tidak diberi surat keterangan pengunduran diri atau PHK oleh perusahaan, Elvyn mengatakan peserta bisa melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Ia mencatat sampai saat ini ada 17,2 juta peserta BPJS Ketenagakerjaan. Mereka mengikuti empat program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan yakni Jaminan Pensiun (JP), Hari Tua (JHT), Kecelakaan Kerja (JKK) dan Kematian (JKm). "Saat ini ketika mendaftarkan pekerjanya  jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan perusahaa harus mendaftarkan pekerjanya pada semua program BPJS Ketenagakerjaan," pungkasnya.[Hukum Online]

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar